Jumat, 30 Januari 2009
Please, hilangkan stigma itu!!
Semoga apa yang saya tulis ini bisa membantu mengurangi beban saudara-saudara kita yang telah di diagnosa mengidap HIV atau bahkan AIDS.
Inilah kenyataan yang saya alami, bahwa stigma terhadap pasien HIV itu masih ada. Bahkan masih banyak tenaga kesehatan yang takut dan menganggap penyakit ini bisa menular dengan mudahnya. Sehingga berdampak pada perawatan yang tidak maksimal terhadap pasien tersebut.
Ketika saya koas di smf ilmu penyakit dalam, saya mendapati 3 kasus HIV positif. Bahkan di kelompok sebelum saya, juga dilaporkan ada 2 kasus HIV positif. Hal itu cukup mengejutkan saya, mengingat kota tempat saya melaksanakan koas adalah kota yang religius, bahkan bisa dibilang sebagai kota santri. Ini menandakan bahwa Indonesia sudah masuk keperiode siaga, dalam hal penyebaran penyakit HIV/AIDS.
Okelah, saya tidak akan membahas mengapa ini semua bisa terjadi, tetapi saya sempitkan pembahasan pada perlakuan terhadap pasien tersebut.
Ketika giliran saya jaga, petugas IRD menelpon ruangan yang masuk wilayah jaga saya, dan mengatakan akan mengirimkan pasien dengan kasus diare kronis (kronis menandakan bahwa penyakit itu sudah diderita dalam jangka waktu yang lama dan biasanya bertambah progresif). Ketika perawat memberitahu saya bahwa akan ada pasien baru dengan diare kronis, saya mulai berpikir “apakah ini HIV”?. Tentu saja saya tidak bisa langsung memvonis tanpa ditunjang hasil-hasil yang lebih objektif, misalnya pemeriksaan laboratorium. Ketika pasien tiba, para perawat sudah mulai saling tunjuk untuk mengukur tekanan darah, maupun mengecek suhu tubuh penderita. Dan akhirnya saya berkata, “Ya sudah mbak, biar saya saja yang melakukan, sekalian saya mau anamnesa (wawancara) dan DP (pemeriksaan fisik)”. Akhirnya dengan peralatan standar ‘universal precaution’ saya masuk ke ruangan si pasien. Karena biar bagaimana pun, proteksi diri tetaplah utama, dan saat itu saya juga terbawa suasana sehingga ikut-ikutan takut. Mulailah saya mengukur tekanan darah, nadi, mengecek suhu tubuh, maupun mengukur frekuensi nafasnya. Lalu saya anamnesa dan terakhir saya lakukan pemeriksaan fisik penderita.
Esoknya, berita bahwa ada pasien suspect HIV sudah menyebar ke seluruh RS. Kebetulan, jendela pasien menghadap ke jalan umum, sehingga setiap orang yang lewat, dan mengerti penyakit si pasien, akan menoleh dan menatap dengan pandangan yang kurang menyenangkan, sehingga keluarga pasien merasa risih tidak nyaman berada disana.
Dari cerita diatas sudah jelas bahwa stigma terhadap pasien HIV itu masih ada. Lantas bagaimana perlakuan warga sekitar yang telah mengetahui penyakit si pasien?. Bagi mereka, mendengar vonis bahwa mereka mengidap HIV saja sudah cukup berat, apalagi harus menghadapi perlakuan masyarakat yang negative terhadap diri mereka. Belum cukupkah hukuman buat mereka? Lantas harus dihukum apalagi mereka, biar bisa menebus kesalahan mereka di masa lalu? Tuhan saja mau mengampuni mereka, mengapa kita tidak. Dan ingatlah bahwa hanya dengan senyum atau berjabat tangan tidak akan menyebabkan anda tertular penyakit tersebut. Mereka hanya ingin menikmati saat-saat terakhir mereka di dunia dengan indah. Mengapa kita tidak mampu untuk mewujudkan itu demi kemanusiaan……………….
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar