Jumat, 30 Januari 2009

Sumpah Dokter


Kejadian ini terjadi ketika saya masih koas di ilmu penyakit dalam. Malam itu seperti biasa saya harus keliling ruangan untuk memastikan tidak ada pasien-pasien yang sedang gawat. Ketika saya memasuki ruangan B, saya diberitahu bahwa ada pasien baru, sudah tua, dan dalam keadaan tidak sadar setelah sebelumnya mengalami diare. Saya tidak mengulas tentang penyebab tidak sadarnya si pasien atau bagaimana dengan diarenya, lagian pasien ini masih baru, dan dari diagnosa fisik tidak ditemukan sesuatu yang bermakna selain vital signnya yang melemah dan hasil laboratoriumnya yang belum keluar. Pasien ini sudah mendapat rehidrasi di UGD. Nah, ketika keadaan semakin memburuk, keluarga sudah mulai gelisah. Tensi terakhir adalah 60 palpasi, dan nadinya melemah. Lalu akhirnya saya konsulkan kepada spesialis penyakit dalam yang memang memegang ruangan itu, dan diberi terapi untuk meningkatkan tensinya (dopamin dengan memakai syringe pump). Tapi ternyata hal itu tidak juga membantu, dan lama kelamaan kondisi pasien semakin memburuk, tensi tak terukur, gerakan nafas tidak ada, tapi saya masih merasakan adanya denyut nadi, walaupun lemah!.
Namun apa yang terjadi selanjutnya ? inilah yang membuat saya kaget, keluarga meminta saya mencopot seluruh alat-alat medis yang dipasang dan menyatakan bahwa kondisi pasien meninggal. Dan paksaan itu berlangsung berkali-kali. Saya sebagai seorang dokter muda saat itu, juga pernah disumpah sebelum melaksanakan koas bahwa saya akan berusaha untuk meyelamatkan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Wah, mungkin karena kesal kali ya, akhirnya saya berbicara dengan nada yang meninggi, “ Pak, saya sudah disumpah pak! Untuk berusaha menyelamatkan pasien saya”. Namun bapak itu masih tetap saja memaksa saya untuk melakukan itu, dan beralasan bahwa dikampungnya ada hajatan pernikahan cucu sipasien, sementara bila semua keluarga di RS, maka tidak ada yang membantu pelaksananaan hajatan tersebut. Bah, hanya karena hajatan mereka tega berbuat ini? Jujur saja saya yakin kondisi seperti ini tidak akan tertolong, namun apakah mereka tidak bisa “menunggu” sebentar sampai benar-benar pasien bisa dinyatakan meninggal?. Wah, lagi-lagi sumpah saya diuji neh…..hehehehehe
Mungkin orang menganggap bahwa hanya dengan sumpah tidak akan mampu membuat para dokter untuk bertindak benar, tapi buat saya, sumpah hipokrates merupakan amanat yang betul-betul harus terpatri dalam hati saya dan harus bisa saya amalkan. Saya percaya bahwa dengan bertindak berdasarkan sumpah hipokrates akan bisa membuat saya menjadi dokter yang baik dan professional nantinya……………………………………….

Aborsi adalah hak?

Aborsi adalah hak


Mengutip pernyataan presiden Amerika terpilih, yaitu Barrack Obama, bahwa aborsi itu adalah suatu hak, timbul satu pertanyaan dalam benak saya, apakah aborsi itu suatu hak asasi individu? Mungin iya, mungkin tidak.

Terus terang, saya bukanlah seorang yang ahli dalam mendefinisikan makna sebenarnya dari “hak” itu sendiri, tetapi saya bisa memahami makna yang dimaksud dari “hak” tersebut. Ketika saya smp, saya pernah diajarkan definisi dari hak tersebut, dan setahu saya kita tidak bisa memaksakan hak kita bila nantinya akan merugikan kepentingan orang lain. Disinilah permasalahannya timbul.

Ketika seorang ibu atau calon ibu memutuskan untuk melakukan aborsi atau tidak, itu memang merupakan hak dari ibu tersebut. Tapi apakah kita hanya memandang dari sisi ibu saja?. Bagaimana dengan hak dari bayi itu sendiri?. Bukankah dia berhak untuk hidup, untuk bernafas, untuk melihat indahnya dunia. Apa dasar yang membuat kita bisa memutuskan bahwa bayi yang satu layak hidup dan yang lain tidak?. Apakah memang kita yang “membuat” bayi tersebut? Sehingga membuat kita merasa berhak dan bisa untuk menolak hasil karya kita sendiri. Kita memang menyumbang sperma dan ovum yang memungkinkan terbentuknya zigot. Bayi itu memang hidup dalam rahim kita. Tapi apakah kita memang sanggup untuk menciptakan sendiri kedua bola mata yang lucu, tangan-tangan yang mungil, atau bibir-bibir yang merah?. Lalu apakah proses yang terjadi dalam tubuhmu hingga terbentuk suatu fetus yang kemudian akan berkembang menjadi janin memang merupakan proses yang bisa kamu kendalikan? Lantas siapa yang membuat tubuhmu sendiri?. Dari sini kita bisa simpulkan bahwa bukan kita yang menciptakan bayi tersebut, tetapi ada suatu kekuatan luar biasa yang menciptakannya menghendaki bayi tersebut dilahirkan kedunia. Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu yang tidak berguna, yang patut kita “hancurkan” sebelum hal itu tercipta. Beliau menciptakan matahari bukan untuk memanaskan bumi. Bukan pula membuat hujan untuk menciptakan banjir. Tapi kita sendirilah yang membuat ciptaannya seolah-olah merupakan bencana. Apakah efek rumah kaca itu buatan Tuhan?. Apakah pemanasan global juga buatan Tuhan?. Apakah banjir maupun tanah longsor buatan Tuhan?.

Back to topic again, bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan bayi tersebut untuk membebani seseorang. Apakah bayi tersebut bisa lahir tanpa ada hubungan seksual antara pria dan wanita?. Lantas mengapa kalian berhubungan kalau memang kalian bukanlah suami istri, atau kalau memang suami-istri namun dengan alasan kondisi sosial ekonomi yang tidak memungkinkan, mengapa kalian tidak memanfaatkan alat kontrasepsi?. Bayi-bayi tersebut tidak meminta untuk dilahirkan, tapi mereka sendirilah yang membuat hal itu terjadi. Tuhan tidak pernah menciptakan seseorang yang kelak dipersiapkan untuk menjadi penjahat atau koruptor. Tapi lingkungan yang membentuk itu semua, dan kita sebagai orang tua juga berperan besar untuk menentukan apakah kelak anak ini akan menjadi apa.

Tapi itulah manusia, berbuat, tapi tidak mau bertanggungjawab. Mereka sendirilah yang membuat keadaan menjadi bertambah buruk. Ingatlah, banyak juga pasangan yang menangis setiap hari, bahkan sampai beribadah tengah malam hanya untuk memohon hadirnya buah hati mereka yang lucu, mungil, dan kelak akan berguna bagi bangsa dan negaranya maupun keluarganya sendiri.

Oh Tuhan, semoga aku tidak pernah dihadapkan pada keadaan dimana saya terpaksa harus melakukan aborsi. Aborsi dilegalkan untuk kepentingan medis, dimana proses persalinan tersebut akan mengancam nyawa dari sang ibu. Namun buat saya, itu tetap saja mengakhiri hidup seseorang, entah itu legal ataupun illegal!!. Saya tidak punya kuasa untuk menentukan bahwa bayi ini layak hidup atau tidak. Tuhan, sekali lagi saya mohon, tolonglah, jangan ciptakan keadaan itu buat saya………….

Please, hilangkan stigma itu!!


Semoga apa yang saya tulis ini bisa membantu mengurangi beban saudara-saudara kita yang telah di diagnosa mengidap HIV atau bahkan AIDS.
Inilah kenyataan yang saya alami, bahwa stigma terhadap pasien HIV itu masih ada. Bahkan masih banyak tenaga kesehatan yang takut dan menganggap penyakit ini bisa menular dengan mudahnya. Sehingga berdampak pada perawatan yang tidak maksimal terhadap pasien tersebut.
Ketika saya koas di smf ilmu penyakit dalam, saya mendapati 3 kasus HIV positif. Bahkan di kelompok sebelum saya, juga dilaporkan ada 2 kasus HIV positif. Hal itu cukup mengejutkan saya, mengingat kota tempat saya melaksanakan koas adalah kota yang religius, bahkan bisa dibilang sebagai kota santri. Ini menandakan bahwa Indonesia sudah masuk keperiode siaga, dalam hal penyebaran penyakit HIV/AIDS.
Okelah, saya tidak akan membahas mengapa ini semua bisa terjadi, tetapi saya sempitkan pembahasan pada perlakuan terhadap pasien tersebut.
Ketika giliran saya jaga, petugas IRD menelpon ruangan yang masuk wilayah jaga saya, dan mengatakan akan mengirimkan pasien dengan kasus diare kronis (kronis menandakan bahwa penyakit itu sudah diderita dalam jangka waktu yang lama dan biasanya bertambah progresif). Ketika perawat memberitahu saya bahwa akan ada pasien baru dengan diare kronis, saya mulai berpikir “apakah ini HIV”?. Tentu saja saya tidak bisa langsung memvonis tanpa ditunjang hasil-hasil yang lebih objektif, misalnya pemeriksaan laboratorium. Ketika pasien tiba, para perawat sudah mulai saling tunjuk untuk mengukur tekanan darah, maupun mengecek suhu tubuh penderita. Dan akhirnya saya berkata, “Ya sudah mbak, biar saya saja yang melakukan, sekalian saya mau anamnesa (wawancara) dan DP (pemeriksaan fisik)”. Akhirnya dengan peralatan standar ‘universal precaution’ saya masuk ke ruangan si pasien. Karena biar bagaimana pun, proteksi diri tetaplah utama, dan saat itu saya juga terbawa suasana sehingga ikut-ikutan takut. Mulailah saya mengukur tekanan darah, nadi, mengecek suhu tubuh, maupun mengukur frekuensi nafasnya. Lalu saya anamnesa dan terakhir saya lakukan pemeriksaan fisik penderita.
Esoknya, berita bahwa ada pasien suspect HIV sudah menyebar ke seluruh RS. Kebetulan, jendela pasien menghadap ke jalan umum, sehingga setiap orang yang lewat, dan mengerti penyakit si pasien, akan menoleh dan menatap dengan pandangan yang kurang menyenangkan, sehingga keluarga pasien merasa risih tidak nyaman berada disana.
Dari cerita diatas sudah jelas bahwa stigma terhadap pasien HIV itu masih ada. Lantas bagaimana perlakuan warga sekitar yang telah mengetahui penyakit si pasien?. Bagi mereka, mendengar vonis bahwa mereka mengidap HIV saja sudah cukup berat, apalagi harus menghadapi perlakuan masyarakat yang negative terhadap diri mereka. Belum cukupkah hukuman buat mereka? Lantas harus dihukum apalagi mereka, biar bisa menebus kesalahan mereka di masa lalu? Tuhan saja mau mengampuni mereka, mengapa kita tidak. Dan ingatlah bahwa hanya dengan senyum atau berjabat tangan tidak akan menyebabkan anda tertular penyakit tersebut. Mereka hanya ingin menikmati saat-saat terakhir mereka di dunia dengan indah. Mengapa kita tidak mampu untuk mewujudkan itu demi kemanusiaan……………….

Apakah ujian Kompetensi itu sudah tepat ?

Apakah ujian Kompetensi itu sudah tepat

Hal ini selalu menjadi tanda tanya dalam benak saya, apakah untuk menentukan kompetensi seorang dokter perlu dilakukan ujian?.

Sudah tak terhitung berapa ratus kali saya harus melewati ujian untuk menjadi seorang dokter, dan ketika saya sudah disumpah, lagi-lagi saya harus diuji untuk memperoleh ijin praktek. Jujur saja, buat saya biaya untuk kompetensi lumayan memberatkan, karena selepas menyandang titel dokter, saya diharapkan sudah bisa untuk segera berpenghasilan sendiri dan tidak bergantung pada orang tua. Tapi mau tidak mau, lagi-lagi saya harus meminta uang untuk biaya ikut ujian kompetensi.

Yang saya permasalahkan sebenarnya bukan hanya masalah uang pendaftaran, tetapi cara untuk menguji kompetensi seorang dokter apakah sudah tepat dengan menggunakan mekanisme ujian?. Saya sudah terbiasa menghadapi ujian, sehingga saya tentu punya trik-trik sendiri untuk menyiasati ujian ini. dengan belajar contoh-contoh soal misalnya. Lantas seandainya saya belajar keras untuk menghadapi ujian tersebut, saya yakin materi-materi yang telah saya pelajari pasti akan mulai terlupakan satu persatu dalam 2 minggu atau 1 bulan kedepan. Memori manusia itu ada batasnya. Selain itu apakah ada jaminan bahwa seseorang yang menguasai teori, bisa mahir menerapkan ilmunya dalam berbagai tindakan medis?.

Kebanyakan orang menganggap bahwa seorang dokter itu pasti materinya berlebih. Kalau menurut saya, tidak semua seperti itu, dan seandainya iya, materi itu bukanlah milik kami pribadi, tetapi milik orang tua kami, karena kami masih belum bisa praktek sebelum lulus ujian kompetensi. Lantas bagaimana solusinya?

Saya sering mempermasalahkan seminar-seminar, workshop ataupun pelatihan-pelatihan buat para dokter itu masih sangat mahal. Mengapa pemerintah tidak memfasilitasi semua itu. Karena menurut saya, saya merasa skill dan kemampuan saya akan bertambah bila saya mengikuti pelatihan-pelatihan, dibandingkan saya mengikuti ujian. Bukankah tujuan dari ujian kompetensi ini adalah untuk menciptakan dokter yang kompeten dan professional. Dan menurut saya hal itu tidak bisa dilakukan hanya dengan ujian. Karena itu saya harap ditinjau kembali, apakah sudah tepat menilai kompetensi seorang dokter dengan ujian???.