Pendahuluan
Asam bronkial saya angkat karena ada beberapa anggota keluarga saya yang mengidap penyakit ini. Hal ini membuat saya yakin bahwa banyak juga orang diluar sana yang menderita penyakit ini sehingga membuat saya merasa perlu untuk berbagi informasi tentang penyakit ini kepada orang lain.
Pemakaian kata bronkial bermaksud untuk membedakan jenis asma yang lain, yaitu asma kardial, yang akan saya jelaskan pada topik yang berbeda. Pemakaian kata “asma” yang biasa disebutkan oleh orang awam adalah jenis asma bronkial.
Definisi
Asma adalah peradangan saluran nafas kronis yang melibatkan peranan sel-sel radang dan elemen-elemen selulernya, yang mengakibatkan hipersensitivitas dan penyempitan saluran nafas yang bervariasi, yang ditandai oleh episode berulang mengi (wheezing), sesak nafas, dan batuk, terutama pada malam hari atau pagi dinihari, dimana penyempitan saluran nafas dan gejal-gejal tersebut bersifat reversible (bisa normal kembali) baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Jadi bila diringkas, asma adalah penyakit paru dengan karakteristik :
Penyempitan saluran nafas ini bisa terjadi secara bertahap, perlahan-lahan, dan bahkan menetap walaupun dengan pengobatan, tetapi dapat pula terjadi mendadak sehingga menimbulkan sesak nafas yang akut.
Klasifikasi
Secara etiologis, asma bronkial dibagi dalam 3 tipe :
Asma Bronkial Tipe Non Atopi (Intrinsik)
Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap allergen dan sifat-sifatnya adalah :
Asma Bronkial Tipe Atopi (Ekstrinsik)
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan terhadap allergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkus. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat :
Asma Bronkial Campuran (Mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh factor-faktor intrinsik maupun eksterinsik.
Patogenesis
Ada 2 jalur yang bisa mencetuskan asma, yaitu jalur imunologis dan jalur saraf otonom. Yaitu :
Pada jalur imunologis, masuknya antigen kedalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells) yang selanjutnya akan dikomunikasikan ke Thelper. Sel Thelper inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain, seperti mastosit, makrofag, sel epithel, eosinofil, neutrofil, trombosit, serta limfosit, untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator tersebut yakni histamine, SRS-A (Slow Reacting Substance of Anaphylaxis), ECF-A (Eosinophyl Chemotactic Factor of Anaphylaxis), NCF-A (Neutrophyl Chemotactic Factor of Anaphylaxis), PAF (Platelet Activating Factor), Prostaglandin, Bradikinin, Leukotrin, Heparin, dll, dimana salah satu diantaranya menyebabkan siklik AMP pada messenger sel otot menurun dan siklik GMP meningkat. Hal inilah yang menyebabkan tonus otot polos pada bronkus meningkat, dengan akibat suatu konstriksi yang menyebabkan saluran nafas menyempit (bronkhokonstriksi).
Setelah terjadi obstruksi, disusul kemudian dengan timbulnya sembab (oedem) mukosa dan peningkatan sekresi mucus ke dalam lumen bronkus (akibat peningkatan permeabilitas vaskuler).
Pada jalur saraf otonom, selain merangsang sel-sel inflamasi, juga merangsang system saraf otonom dengan hasil akhir berupa inflamasi (peradangan) dan hiperreaktivitas saluran nafas. Rangsangan pada saraf otonom ini akan menyebabkan impuls yang diteruskan pada pusat vagal reflex di batang otak, menyebabkan pelepasan asetilkolin pada ujung-ujung saraf sehingga terbentuk inositol 1,4,5-triphosphate (IP3) pada sel-sel otot polos di bronkhus, dimana IP3 ini menyebabkan pelepasan kalsium intraseluler sehingga terjadi bronkhokonstriksi.
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran nafas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia, dan aktivitas fisik. Sebagian hiperreaktivitas saluran nafas ini dibawa sejak lahir, dan sebagian lagi didapat. Inflamasi yang berulang diduga berperan terhadap kejadian ini. Salah satu kosekuensi inflamasi adalah kerusakan epithel. Perubahan struktur ini akan mempermudah penetrasi allergen, mediator inflamasi, serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf otonom, sehingga sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epithel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat berperan sebagai bronchodilator. Namun kerusakan sel-sel epithel bronkus akibat inflamasi akan mengakibatkan bronkhokonstriksi lebih mudah terjadi.
Patofisiologi
Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, penyumbatan oleh mucus, oedema mukosa bronkus, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selam ekspirasi, karena secara fisiologis saluran nafas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak dan tidak dapat diekspirasi, sehingga pasien akan bernafas pada volume yang tinggi. Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancer. Untuk mempertahankan keadaan hiperinflasi ini, diperlukan kerja otot-otot Bantu pernafasan.
Akibat adanya penyempitan saluran nafas, tekanan partial oksigen di alveoli menurun, dengan demikian oksigen pada peredaran darah ikut menurun dan terjadi hipoksemia. Sebaliknya CO2 mengalami retensi pada alveoli, sehingga kadar CO2 dalam peredaran darah meningkat (hiperkapnea) yang memberikan rangsangan pada pusat pernafasan sehingga terjadi hiperventilasi. Hiperventilasi yang berlangsung lama akan mengakibatkan terjadi pengeluaran CO2 yang berlebihan, sehingga Pa CO2 menurun, yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik.
Pada serangan asma yang lebih berat lagi, banyak saluran nafas dan alveolus yang tertutup oleh mucus, sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernafasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolar menyebabkan retansi CO2 dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal nafas. Hipoksemia yang berlangsung lama juga menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru dengan akibat memperburuk hiperkapnea.
Dengan demikian, penyempitan saluran nafas pada asma akan menimbulkan hal-hal sbb :
- Gangguan ventilasi (hipoventilasi)
- Ketidakseimbangan ventilasi perfusi
- Gangguan difusi gas di tingkat alveoli
Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan :
- Hipoksemia
- Hiperkapnea
- Asidosis respiratorik ( tahap lanjut)
Gambaran Klinis
Keluhan :
- Nafas berbunyi / mengi (wheezing)
- Sesak nafas
- Batuk
Batuk mulainya tanpa sekret, tetapi selanjutnya akan mengeluarkan sekret baik yang putih maupun sampai kehijauan. Ada sebagian kecil pasien yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah “Cough Variant Asthma”.
Kadang disertai juga dengan gejala-gejala yang tidak khas seperti rasa berat di dada, pilek, bersin-bersin, dsb.
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis :
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
- Eosinofil darah meningkat >250/mm3
- Analisa gas darah : hipoksemia, hiperkapnea, asidosis respiratorik
Radiologis
Tidak ada tanda-tanda yang khas. Hanya untuk menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi saluran nafas.
Spirometri ( Pemeriksaan Faal Paru)
Pemeriksaan ini selain penting untuk menegakkan diagnosa, juga penting untu menilai beratnya obstruksi dan hasil pengobatan. Kegunaan spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada pasien hipertensi dan glukometer pada diabetes mellitus. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan adanya obstruksi.
Pada spirometri akan ditemukan penurunan nilai FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 second) yang menunjukkan beratnya obstruksi dan penurunan FVC (Forced Vital Capacity) yang menunjukkan derajat hiperinflasi paru.
Uji Provokasi Bronkus
Dengan inhalasi histamine, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonis, bahkan dengan aqua destilata.
Uji Kulit
Menentukan adanya antibody IgE spesifik dalam tubuh (menunjukkan adanya alergi).
Penatalaksanaan
Edukasi Penderita
Penderita dan keluarganya harus mendapatkan informasi dan pelatihan agar dapat mencapai kendali asma semaksimal mungkin. Diharapkan penderita dan keluarganya dapat membina hubungan yang kooperatif dengan tingkat kepatuhan yang tinggi. Hal ini diperlukan karena pengobatan asma merupakan pengobatan jangka panjang.
Pengobatan
Strategi pengobatan asma dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain :
Mencegah ikatan allergen – IgE
- Menghindari paparan allergen
- Hiposensitisasi
Mencegah pelepasan mediator-mediator inflamasi
Pemberian Disodium Chromoglycate (DSCG) dapat menstabilkan dinding membran dari sel mast atau basofil, sehingga :
- Mencegah terjadinya degranulasi dari sel mast
- Mencegah pelepasan histamine
- Mencegah pelepasan SRS-A
- Mencegah pelepasan ECF-A
Perlu diingat bahwa DSCG tidak mempunyai efek bronkhodilatasi, oleh karena itu tidak dipakai untuk mengatasi serangan asma, tetapi dipakai ketika tidak ada serangan (maintenance therapy).
Melebarkan saluran nafas dengan bronkhodilator
a. Golongan Adrenergik
b. Golongan Methylxanthine
c. Golongan Antikolinergik
Golongan Adrenergik
Dapat dipakai adrenaline atau obat-obat golongan beta2 agonis (Metaproterenol, terbutalin, fenoterol, salbutamol, dll). Adrenaline dan beta2 agonis yang short acting hanya digunakan ketika terjadi serangan, sementara untuk terapi maintenance dapat digunakan beta2 agonis yang long acting.
Penggunaan golongan adrenergik harus lebih hati-hati pada orang tua, penderita sakit jantung, hipertensi, maupun hipertiroid.
Golongan Methylxanthine
Efek methylxanthine adalah menghambat bekerjanya enzim phosphodiesterase, dimana enzim ini memfasilitasi perubahan c-AMP menjadi 5-AMP.
(ATP oleh enz. Adenyl yl cyclase dirubah menjadi c-AMP, lalu enz. Phosphodiesterase mengubah c-AMP menjadi 5-AMP).
Contoh obat golongan ini adalah aminofilin. Aminofilin diberikan bila setelah 2 jam pemberian adrenaline tidak memberikan hasil. Aminofilin tidak boleh diberikan pada pasien yang tekanan darahnya rendah (hipotensi).
Golongan Anti Kolinergik
Efek dari obat-obat ini adalah menghambat enzim guanyl cyclase, dimana enzim ini mempasilitasi perubahan GTP menjadi c-GMP.
(GTP oleh enz. Guanyl cyclase diubah menjadi c-GMP, lalu oleh enz. Phosphodiesterase didegradasi menjadi 5-GMP)
Selain itu, obat ini juga dapat meningkatkan efektifitas obat-obat golongan adrenergik. Contoh obat-obat yang termasuk golongan ini adalah :
- Sulfas atropine
- Ipratroprium bromide
Obat-obatan lain yang bisa digunakan sebagai terapi suportif diantaranya :
Kortikosteroid
Sebenarnya obat ini tidak mempunyai efek bronkhodilator, tetapi dapat memperkuat kerja dari obat golongan beta adrenergik dan bisa juga menekan proses inflamasi.
Ekspektorantia
Yang termasuk golongan ini adalah : Glyceril guaiacolat, Kalium iodide, N-Acetyl-Cystein.
Antibiotika
Hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi skunder.
Mengingat penyakit ini adalah suatu peradangan kronis, follow up teratur diperlukan untuk memastikan dan memantau apakah tata laksana asma telah tercapai. Selain itu dituntut pula kepatuhan dari penderita sendiri dalam menjalankan terapi dan utamanya menghindari paparan allergen, sehingga munculnya gejala-gejala dapat ditekan bahkan dapat diminimalisir kemunculannya.
Asam bronkial saya angkat karena ada beberapa anggota keluarga saya yang mengidap penyakit ini. Hal ini membuat saya yakin bahwa banyak juga orang diluar sana yang menderita penyakit ini sehingga membuat saya merasa perlu untuk berbagi informasi tentang penyakit ini kepada orang lain.
Pemakaian kata bronkial bermaksud untuk membedakan jenis asma yang lain, yaitu asma kardial, yang akan saya jelaskan pada topik yang berbeda. Pemakaian kata “asma” yang biasa disebutkan oleh orang awam adalah jenis asma bronkial.
Definisi
Asma adalah peradangan saluran nafas kronis yang melibatkan peranan sel-sel radang dan elemen-elemen selulernya, yang mengakibatkan hipersensitivitas dan penyempitan saluran nafas yang bervariasi, yang ditandai oleh episode berulang mengi (wheezing), sesak nafas, dan batuk, terutama pada malam hari atau pagi dinihari, dimana penyempitan saluran nafas dan gejal-gejal tersebut bersifat reversible (bisa normal kembali) baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Jadi bila diringkas, asma adalah penyakit paru dengan karakteristik :
- Inflamasi (peradangan) saluran nafas
- Hipersensitivitas (peningkatan respons) saluran nafas terhadap berbagai rangsangan
- Obstruksi (penyempitan) saluran nafas yang reversible
Penyempitan saluran nafas ini bisa terjadi secara bertahap, perlahan-lahan, dan bahkan menetap walaupun dengan pengobatan, tetapi dapat pula terjadi mendadak sehingga menimbulkan sesak nafas yang akut.
Klasifikasi
Secara etiologis, asma bronkial dibagi dalam 3 tipe :
Asma Bronkial Tipe Non Atopi (Intrinsik)
Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap allergen dan sifat-sifatnya adalah :
- Serangan timbul setelah dewasa
- Keluarga tidak ada yang menderita asma
- Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan
- Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik
- Rangsangan psikis juga berperan untuk menimbulkan serangan
- Bisa juga dicetuskan oleh perubahan cuaca atau lingkungan yang non spesifik
Asma Bronkial Tipe Atopi (Ekstrinsik)
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan terhadap allergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkus. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat :
- Timbul sejak kanak-kanak
- Pada keluarga, ada yang menderita asma
- Adanya eksim pada waktu bayi
- Sering menderita rhinitis (peradangan pada mukosa hidung)
- Bisa disebabkan house dust mite atau tepung sari bunga rumput (USA, Inggris)
Asma Bronkial Campuran (Mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh factor-faktor intrinsik maupun eksterinsik.
Patogenesis
Ada 2 jalur yang bisa mencetuskan asma, yaitu jalur imunologis dan jalur saraf otonom. Yaitu :
Pada jalur imunologis, masuknya antigen kedalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells) yang selanjutnya akan dikomunikasikan ke Thelper. Sel Thelper inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain, seperti mastosit, makrofag, sel epithel, eosinofil, neutrofil, trombosit, serta limfosit, untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator tersebut yakni histamine, SRS-A (Slow Reacting Substance of Anaphylaxis), ECF-A (Eosinophyl Chemotactic Factor of Anaphylaxis), NCF-A (Neutrophyl Chemotactic Factor of Anaphylaxis), PAF (Platelet Activating Factor), Prostaglandin, Bradikinin, Leukotrin, Heparin, dll, dimana salah satu diantaranya menyebabkan siklik AMP pada messenger sel otot menurun dan siklik GMP meningkat. Hal inilah yang menyebabkan tonus otot polos pada bronkus meningkat, dengan akibat suatu konstriksi yang menyebabkan saluran nafas menyempit (bronkhokonstriksi).
Setelah terjadi obstruksi, disusul kemudian dengan timbulnya sembab (oedem) mukosa dan peningkatan sekresi mucus ke dalam lumen bronkus (akibat peningkatan permeabilitas vaskuler).
Pada jalur saraf otonom, selain merangsang sel-sel inflamasi, juga merangsang system saraf otonom dengan hasil akhir berupa inflamasi (peradangan) dan hiperreaktivitas saluran nafas. Rangsangan pada saraf otonom ini akan menyebabkan impuls yang diteruskan pada pusat vagal reflex di batang otak, menyebabkan pelepasan asetilkolin pada ujung-ujung saraf sehingga terbentuk inositol 1,4,5-triphosphate (IP3) pada sel-sel otot polos di bronkhus, dimana IP3 ini menyebabkan pelepasan kalsium intraseluler sehingga terjadi bronkhokonstriksi.
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran nafas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia, dan aktivitas fisik. Sebagian hiperreaktivitas saluran nafas ini dibawa sejak lahir, dan sebagian lagi didapat. Inflamasi yang berulang diduga berperan terhadap kejadian ini. Salah satu kosekuensi inflamasi adalah kerusakan epithel. Perubahan struktur ini akan mempermudah penetrasi allergen, mediator inflamasi, serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf otonom, sehingga sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epithel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat berperan sebagai bronchodilator. Namun kerusakan sel-sel epithel bronkus akibat inflamasi akan mengakibatkan bronkhokonstriksi lebih mudah terjadi.
Patofisiologi
Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, penyumbatan oleh mucus, oedema mukosa bronkus, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selam ekspirasi, karena secara fisiologis saluran nafas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak dan tidak dapat diekspirasi, sehingga pasien akan bernafas pada volume yang tinggi. Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancer. Untuk mempertahankan keadaan hiperinflasi ini, diperlukan kerja otot-otot Bantu pernafasan.
Akibat adanya penyempitan saluran nafas, tekanan partial oksigen di alveoli menurun, dengan demikian oksigen pada peredaran darah ikut menurun dan terjadi hipoksemia. Sebaliknya CO2 mengalami retensi pada alveoli, sehingga kadar CO2 dalam peredaran darah meningkat (hiperkapnea) yang memberikan rangsangan pada pusat pernafasan sehingga terjadi hiperventilasi. Hiperventilasi yang berlangsung lama akan mengakibatkan terjadi pengeluaran CO2 yang berlebihan, sehingga Pa CO2 menurun, yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik.
Pada serangan asma yang lebih berat lagi, banyak saluran nafas dan alveolus yang tertutup oleh mucus, sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernafasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolar menyebabkan retansi CO2 dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal nafas. Hipoksemia yang berlangsung lama juga menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru dengan akibat memperburuk hiperkapnea.
Dengan demikian, penyempitan saluran nafas pada asma akan menimbulkan hal-hal sbb :
- Gangguan ventilasi (hipoventilasi)
- Ketidakseimbangan ventilasi perfusi
- Gangguan difusi gas di tingkat alveoli
Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan :
- Hipoksemia
- Hiperkapnea
- Asidosis respiratorik ( tahap lanjut)
Gambaran Klinis
Keluhan :
- Nafas berbunyi / mengi (wheezing)
- Sesak nafas
- Batuk
Batuk mulainya tanpa sekret, tetapi selanjutnya akan mengeluarkan sekret baik yang putih maupun sampai kehijauan. Ada sebagian kecil pasien yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah “Cough Variant Asthma”.
Kadang disertai juga dengan gejala-gejala yang tidak khas seperti rasa berat di dada, pilek, bersin-bersin, dsb.
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis :
- Compos mentis
- Cemas, gelisah, berkeringat
- Tekanan darah meningkat
- Nadi meningkat
- Pulsus paradoksus ( penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg pada waktu inspirasi)
- Frekuensi pernafasan meningkat
- Sianosis (membiru)
- Hipertrofi otot-otot bantu pernafasan
- Ekspirasi memanjang
- Mengi / wheezing
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
- Eosinofil darah meningkat >250/mm3
- Analisa gas darah : hipoksemia, hiperkapnea, asidosis respiratorik
Radiologis
Tidak ada tanda-tanda yang khas. Hanya untuk menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi saluran nafas.
Spirometri ( Pemeriksaan Faal Paru)
Pemeriksaan ini selain penting untuk menegakkan diagnosa, juga penting untu menilai beratnya obstruksi dan hasil pengobatan. Kegunaan spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada pasien hipertensi dan glukometer pada diabetes mellitus. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan adanya obstruksi.
Pada spirometri akan ditemukan penurunan nilai FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 second) yang menunjukkan beratnya obstruksi dan penurunan FVC (Forced Vital Capacity) yang menunjukkan derajat hiperinflasi paru.
Uji Provokasi Bronkus
Dengan inhalasi histamine, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonis, bahkan dengan aqua destilata.
Uji Kulit
Menentukan adanya antibody IgE spesifik dalam tubuh (menunjukkan adanya alergi).
Penatalaksanaan
Edukasi Penderita
Penderita dan keluarganya harus mendapatkan informasi dan pelatihan agar dapat mencapai kendali asma semaksimal mungkin. Diharapkan penderita dan keluarganya dapat membina hubungan yang kooperatif dengan tingkat kepatuhan yang tinggi. Hal ini diperlukan karena pengobatan asma merupakan pengobatan jangka panjang.
Pengobatan
Strategi pengobatan asma dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain :
Mencegah ikatan allergen – IgE
- Menghindari paparan allergen
- Hiposensitisasi
Mencegah pelepasan mediator-mediator inflamasi
Pemberian Disodium Chromoglycate (DSCG) dapat menstabilkan dinding membran dari sel mast atau basofil, sehingga :
- Mencegah terjadinya degranulasi dari sel mast
- Mencegah pelepasan histamine
- Mencegah pelepasan SRS-A
- Mencegah pelepasan ECF-A
Perlu diingat bahwa DSCG tidak mempunyai efek bronkhodilatasi, oleh karena itu tidak dipakai untuk mengatasi serangan asma, tetapi dipakai ketika tidak ada serangan (maintenance therapy).
Melebarkan saluran nafas dengan bronkhodilator
a. Golongan Adrenergik
b. Golongan Methylxanthine
c. Golongan Antikolinergik
Golongan Adrenergik
Dapat dipakai adrenaline atau obat-obat golongan beta2 agonis (Metaproterenol, terbutalin, fenoterol, salbutamol, dll). Adrenaline dan beta2 agonis yang short acting hanya digunakan ketika terjadi serangan, sementara untuk terapi maintenance dapat digunakan beta2 agonis yang long acting.
Penggunaan golongan adrenergik harus lebih hati-hati pada orang tua, penderita sakit jantung, hipertensi, maupun hipertiroid.
Golongan Methylxanthine
Efek methylxanthine adalah menghambat bekerjanya enzim phosphodiesterase, dimana enzim ini memfasilitasi perubahan c-AMP menjadi 5-AMP.
(ATP oleh enz. Adenyl yl cyclase dirubah menjadi c-AMP, lalu enz. Phosphodiesterase mengubah c-AMP menjadi 5-AMP).
Contoh obat golongan ini adalah aminofilin. Aminofilin diberikan bila setelah 2 jam pemberian adrenaline tidak memberikan hasil. Aminofilin tidak boleh diberikan pada pasien yang tekanan darahnya rendah (hipotensi).
Golongan Anti Kolinergik
Efek dari obat-obat ini adalah menghambat enzim guanyl cyclase, dimana enzim ini mempasilitasi perubahan GTP menjadi c-GMP.
(GTP oleh enz. Guanyl cyclase diubah menjadi c-GMP, lalu oleh enz. Phosphodiesterase didegradasi menjadi 5-GMP)
Selain itu, obat ini juga dapat meningkatkan efektifitas obat-obat golongan adrenergik. Contoh obat-obat yang termasuk golongan ini adalah :
- Sulfas atropine
- Ipratroprium bromide
Obat-obatan lain yang bisa digunakan sebagai terapi suportif diantaranya :
Kortikosteroid
Sebenarnya obat ini tidak mempunyai efek bronkhodilator, tetapi dapat memperkuat kerja dari obat golongan beta adrenergik dan bisa juga menekan proses inflamasi.
Ekspektorantia
Yang termasuk golongan ini adalah : Glyceril guaiacolat, Kalium iodide, N-Acetyl-Cystein.
Antibiotika
Hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi skunder.
Mengingat penyakit ini adalah suatu peradangan kronis, follow up teratur diperlukan untuk memastikan dan memantau apakah tata laksana asma telah tercapai. Selain itu dituntut pula kepatuhan dari penderita sendiri dalam menjalankan terapi dan utamanya menghindari paparan allergen, sehingga munculnya gejala-gejala dapat ditekan bahkan dapat diminimalisir kemunculannya.